Berdasarkan penelitian dari AS, sebagian editor memilih profesinya karena nasib yang membawanya ke pekerjaan tersebut. Di antara mereka ada yang menjadi editor karena tidak diterima di jenis pekerjaan lain, ada pula yang karena usaha orang tuanya bergerak dalam bidang penerbitan. Hanya sebagian kecil yang menjadi editor karena kesadarannya sendiri. Golongan ini biasanya telah mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum terjun langsung ke pekerjaan itu.
Untuk mengatasi hal ini, dapat ditempuh di antaranya dengan memberikan penghargaan yang lebih pada editor. Keberadaan mereka hendaknya diposisikan pada titik yang lebih vital. Hal ini wajar karena sesungguhnya editor berada pada titik sentral di antara penerbit, penulis, dan pembaca. Pada posisi itu, editor dituntut untuk (1) mengangkat citra penerbit, (2) mengomunikasikan ide atau gagasan para penulis atau pengarang secara mudah, jelas, benar, serta tepat kepada pembaca sasaran dengan prinsip menebarkan ilmu dan informasi yang bermanfaat untuk kemaslahatan publik, dan (3) menyajikan buku yang enak dibaca dan mudah dipahami pembaca.
Dalam perannya di titik sentral tersebut, editor bertanggung jawab atas berbagai kesalahan kebahasaan yang terjadi pada proses pracetak. Kesalahan-kesalahan tersebut tentu saja berimbas pada citra penerbit, citra penulis, serta kepuasan dan kenyamanan pembaca. Peran ini sebenarnya tidak terlepas dari sejarah keberadaan jabatan editor itu sendiri. Jabatan editor diawali dengan ditemukannya mesin cetak. Dengan mesin ini, dimungkinkan untuk memproduksi buku secara massal. Dalam produksi secara massal dan cepat itulah, kesalahan kebahasaan semakin banyak terjadi.
Dalam perannya yang vital tersebut, seorang editor harus memiliki visi masa depan, meliputi visi akuisisi, penyuntingan, hingga pengembangan.
Dilihat dari wilayah kerjanya, editor memiliki tanggung jawab yang luas, meliputi pemerolehan naskah, penyuntingan naskah, penyuntingan mekanik, penyuntingan substansif, hingga penyuntingan gambar.
Oleh karena itu, seorang editor harus menjadi super. Pada tahapan ini, editor memiliki prasyarat mental dan keahlian yang tinggi. Prasyarat mental editor meliputi kepercayaan diri, objektivitas, kepedulian, intelegensi, alamiah bertanya, diplomasi, kemampuan menulis, dan rasa humor. Prasyarat keahlian meliputi 25 kompetensi yang dapat dibaca detailnya pada makalah.
Pada akhir presentasinya, Bambang Trim menyimpulkan bahwa seorang editor masa kini harus memiliki kemampuan standar editing yang meliputi empat keterampilan berbahasa, ilmu kebahasaan praktis, marketing comunication, desktop publishing dan tipografi, kepustakaan, dan pengetahuan spesifik.
Jika sudah sampai pada tahap tersebut, sudah seharusnya editor memiliki jenjang karier seperti profesi-profesi lain. Jenjang karier editor yang sudah diterapkan beberapa penerbit besar di luar negeri adalah chief editor, senior editor, managing editor, associate editor, copy editor, hingga editorial assistance.
Penyuntingan Piktorial
Bagian ini meliputi penyuntingan berbagai hal di luar kebahasaan. Hal yang harus diperhatikan seorang editor pada tahap penyuntingan piktorial ini adalah masalah alenia, judul lelar, orphan, widow line, hingga efek sungai putih. Semua hal ini tidak berpengaruh langsung terhadap isi tulisan, tetapi berpengaruh terhadap kenyamanan pembaca.
*Bambang Trim (BT),praktisi perbukuan Indonesia, alumnus Program Studi D3 Editing dan Sastra Indonesia Unpad.
Monday, April 4, 2011
“Editor (Memang) Bukan Sekadar Titik-Koma!”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment