Tuesday, September 8, 2009

Bank syariah: kembali pada Fitrah ekonomi

Raut wajah para stakeholder perbankan syari’ah di tahun 2009 tampak begitu cerah, menyiratkan optimisme yang cukup besar. Pasalnya, mereka begitu yakin kalau perbankan syari’ah Indonesia dapat terus bertahan pada posisi hight growth-nya, sebagaimana prestasi yang berhasil dicatat pada tahun sebelumnya. Pihak Bank Indonesia (BI) bahkan merasa yakin bahwa proyeksi minimum pertumbuhan perbankan syari’ah nasional pada 2009 dapat mencapai 25 %, sementara proyeksi maximum dipatok pada kisaran 75 %(Bank Indonesia, 2009)
Bila melihat kondisi perekonomian global yang mulai merangkak, ditambah beberapa aspek pendukung lainnya, proyeksi tersebut memang terasa cukup realistis. Aspek-aspek pendukung tersebut diantaranya adalah telah disyahkannya UU Perbankan Syari’ah yang baru, ditambah UU SBSN yang diharapkan akan menjadi penguat kinerja sistem keuangan syari’ah secara keseluruhan.
Belum lagi adanya amandemen UU perpajakan, yang dianggap akan memberi kepastian hukum dan mendorong kapasitas bank-bank syariah melalui peran investor asing, khususnya dari negeri petro-dollar, Timur Tengah. Melalui amandemen ini, diharapkan para investor Timur Tengah yang saat ini lebih memilih Amerika dan Malaysia sebagai tujuan investasi, mulai mengalihkan tujuan investasinya ke Indonesia.

Proyeksi Pertumbuhan
Berdasarkan data statistik Bank Indonesia bulan Juni 2009, 5 BUS (Bank Umum Syari’ah) yang telah terbentuk terus mengalami pertumbuhan, khususnya dari segi perluasan jaringan kantornya yang telah mencapai 643 kantor. Sementara bank konvensional yang telah memiliki UUS (unit usaha syariah) berjumlah 25 Bank, dengan jumlah jaringan kantor mencapai 256.
Sementara untuk terus meningkatkan pertumbuhan perbankan syari’ah tahun 2009 ini, Bank Indonesia terus mendorong terealisasinya konversi beberapa UUS (Unit Usaha Syari’ah) menjadi BUS (Bank Umum Syari’ah). dimana pada tahun 2009 ini diharapkan lahirnya 9 Bank Umum Syari’ah yang baru, yang enam diantaranya adalah bank domestik, yaitu Bukopin Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Bank Victoria Syariah, Bank Panin Syariah, dan Bank NISP Syari’ah. Sementara tiga lainnya adalah bank Asing.
Selintas pintas dengan berbagai aspek pendukung tersebut target pertumbuhan tahunan perbankan syariah sebesra 25 % pada tahun 2009 seharusnya cukup realistis, apalagi animo masyarakat akan kehadiran sistem keuangan alternative ini juga terus mengalami kenaikan yang signifikan, sebagaimana diperlihatkan dibelahan benua lainnya. Bahkan di negerinya Ratu Elizabeth, perkembangannya cukup pesat dan disebut-sebut malah menyerupai perkembangan di Timur Tengah dan Malaysia.
Namun bila ditelisik lebih dalam, angka-angka statistik tersebut sebetulnya belumlah cukup untuk dijadikan acuan perkembangan perbankan syariah secara nasional. Apalagi melihat market share bank syariah yang tak banyak bergerak pada kisaran 2,2 % sejak tahun 2007 yang lalu hingga kini. Meski data statistik yang dirilis BI hingga Juni 2009 masih mencatat beberapa pencapaian positif, dengan DPK 42,195 Triliun Rupiah, yang 30, 506 triliun rupiah diantaranya disebut-sebut telah membiayai usaha kecil dan menengah.
Padahal dari 42, 195 triliun rupiah tersebut 24, 245 Triliun rupiah diantaranya masih merupakan pembiayaan yang menggunakan skim murabahah. Bentuk pembiayaan yang lebih mengarahkan para nasabahnya menuju pola konsumtif ketimbang pola pembiayaan produktif. Yang menurut Mulawarman (2007), pola ini diambil karena para stakeholders bank syari’ah terlalu memaksakan target market share yang lebih berorientasi pada quantity; yang “kompetitif dan efisien” seperti tertulis dalam visi misi pengembangan perbankan syari’ah yang tercantum dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia.
Kulminasinya, timbul kesan bahwa bank syari’ah tidak berbeda jauh dengan bank konvensional lainnya. Dimana spirit capitalism masih terlalu besar, dibandingkan dengan visi ekonomi islamnya. Istilah keuntungan yang kompetitif dan efisien tersebut tak ayal menjadi tak jauh berbeda dengan eksploitatifnya “bunga”. Belum lagi, pola pembiayaan murabahah yang porsinya masih cukup besar tadi tetap saja hanya bisa dinikmati kalangan ekonomi tengahan yang mampu memenuhi persyaratan agunan dan administrasi lainnya. Sementara mereka yang disebut kelompok bankable atau active poor tetap saja tak berhenti berteriak memohon uluran tangan-tangan tak terlihat.

Visi Keseimbangan
Dalam hal ini, penulis sangat sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Umar Chapra bahwa untuk mencapai tujuan kesejahteraan islam, perekonomian harus mengintegrasikan visi kehidupan duniawi dan spiritualnya dalam satu kesatuan. Sehingga pembangunan perbankan syariah tidak melulu mengedepankan sisi kempetitif dan efisiensi, tapi juga sisi keseimbangan antara kepentingan individual dan sosial.
Dan oleh karena itu, dari segi produk, harus dikembangkan beberapa skim pembiayaan yang lebih mengedepankan pola keseimbangan tadi. Tak hanya mudharabah dan murabahah tapi juga qardh, muzara’ah dan musaqah yang di masa nabi Muhammad sebetulnya lebih diarahkan pada pembiayaan produktif dibandingkan dengan akad-akad trading. Sistem ekonomi fitrah model Rasulullah yang berusaha menggagas kebutuhan produksi-intermediasi-dan retail.
Apa yang dilakukan Bank Muamalat dengan menggagas dibentuknya 500 BMT Shar’e dengan demikian harus mendapatkan perhatian yang khusus, terutama bagi para pelaku jasa keuangan syariah lainnya. Dengan mengembangkan join financing melalui jejaring seperti BMT ataupun BTM, fungsi intermediasi yang disebut banyak kalangan menjadi salah satu kelemahan bank syariah menjadi teratasi. Dengan BMT ataupun BTM, para pengamat ekonomi, pelaku perbankan dan regulator akan mampu menampilkan bentuk ekonomi khususnya perbankan syariah yang mengedepankan keseimbangan antara kepentingan individual dan sosialnya. Semoga….

No comments:

Post a Comment